ANALISIS PERMASALAHAN INDUSTRI KECIL MENENGAH PADA SENTRA INDUSTRI KAMPOENG BATIK LAWEYAN SURAKARTA
DENGAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
Oleh : Ir. Heru Kustanto, M.Si dan Drs. Udin Syamsudin, MM
Dosen Akademi Pimpinan Perusahaan
Abstraksi
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri kecil dan menengah memegang peranan yang sangat vital dalam perekonomian nasional terutama dalam sumbangannya pada penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, dalam operasionalnya IKM banyak menghadapi permasalahan-permasalahan. Untuk itu perlu dilakukan kajian-kajian yang lebih mendalam untuk melihat permasalahan yang ada secara lebih jernih.
Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu kinerja sentra industri Kampoeng Batik Laweyan yang paling dominan adalah faktor keuangan dan permodalan disusul dengan faktor pemasaran. Permasalahan di bidang keuangan dan permodalan yang paling dominan adalah masalah keterbatasan modal baik untuk modal kerja maupun modal investasi disusul dengan pembelian bahan baku harus secara tunai. Permasalahan di bidang pemasaran yang paling dominan adalah terbatasnya pemasaran pada daerah-daerah tertentu dan masalah sulitnya memperoleh pembeli/konsumen baru disusul. Permasalahan di bidang produksi yang paling dominan adalah masalah produktivitas peralatan/mesin yang rendah dan tata letak pabrik yang kurang efisien. Sementara itu, permasalahan di bidang bahan baku yang paling dominan adalah masalah harga bahan baku yang terus meningkat dengan disusul dengan sulitnya melakukan diversifikasi bahan baku. Untuk desain produk, permasalahan yang paling dominan adalah masalah desain produk yang lebih banyak ditentukan pembeli dan tidak dimilikinya desainer khusus. Di bidang ketenagakerjaan, masalah yang dominan yang paling dominan adalah masalah terbatasnya tenaga kerja terdidik dan terlatih di daerah sentra IKM disusul dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah.
Langkah-langkah penyelesaian dapat dilakukan sendiri di tingkat IKM atau difasilitasi oleh pihak-pihak yang berwenang tergantung pada permasalahannya. Langkah-langkah penyelesaian tersebut hendaklah dilakukan secara terintegrasi dan tidak parsial (sendiri-sendiri atau terpisah-pisah).
Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa industri kecil dan menengah memegang peranan yang sangat vital dalam perekonomian nasional terutama dalam sumbangannya pada penyerapan tenaga kerja. Industri kecil juga terbukti tahan pada berbagai guncangan ekonomi seperti pada saat terjadinya krisis ekonomi 1997-1998, usaha kecil menengah (termasuk IKM) mampu menjadi penyelamat perekonomian Indonesia di saat usaha besar (termasuk industri besar/IB) mengalami kebangkrutan.
Dalam konteks pembangunan industri di Indonesia jelas terlihat adanya dualisme dan lemahnya keterkaitan industri kecil menengah dengan industri besar. Dualisme ini muncul karena orientasi industrialisasi berbasis pada modal besar dan teknologi tinggi namun kurang berdasar atas kekuatan ekonomi rakyat. Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan ekonominya dapat tumbuh pesat karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil dan menengah yang disebut community based industry. Perkembangan industri modern di Taiwan, yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi usaha kecil dan menengah yang dinamik. Keterkaitan yang erat antara usaha besar dan usaha kecil lewat program subcontracting terbukti mampu menciptakan sinergi yang menopang perekonomian Taiwan (Kuncoro, 1997). Pelajaran ini sangat berharga dalam membangun industri khususnya peningkatan peran IKM dalam perekonomian Indonesia.
Strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan akumulasi modal, proteksi, dan teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan di Indonesia. Fakta menunjukkan sektor industri yang modern hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional dan kurang produktif. Dualisme dalam sektor industri juga terjadi antara industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang berdampingan dengan industri menengah dan besar.
Sementara itu, di sisi lain industri kecil dan menengah memiliki peranan yang cukup besar dalam sektor industri dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai tambah. Dari total unit usaha manufaktur di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 3.220.061, ternyata 99,92 persen merupakan unit usaha IKM. Sementara itu, pada tahun 2006 IKM menyediakan kesempatan kerja sebesar 77,99 persen dari total kesempatan kerja sektor industri. Kendati demikian, sumbangan nilai tambah IKM pada tahun 2006 terhadap industri manufaktur hanya 36,24 persen. Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada IKM memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKM dalam membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan.
Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah, bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, menengah dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro dan Abimanyu, 1995).
Permasalahan
Dalam konteks pembangunan industri nasional, perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan menengah (IKM) setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, IKM menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak IKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi, karena lokasinya banyak di perdesaan, pertumbuhan IKM akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Simatupang et al., 1994 ; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, IKM jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam pengentasan kemiskinan. Di perdesaan, peran penting IKM memberikan tambahan pendapatan, merupakan seed-bed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Kuncoro, 1997).
Kedua, IKM memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, yang pada tahun 2006 mencapai 21,19 persen dari total ekspor sektor industri manufaktur. Ketiga, adanya urgensi untuk mengubah struktur ekonomi yang berbentuk piramida menjadi semacam gunungan. Puncak piramida dipegang oleh usaha skala besar dengan ciri-ciri : beroperasi pada stuktur pasar quasi monopoli oligopolistik, hambatan masuk tinggi (adanya bea masuk, nontarif, modal, dan lain-lain), menikmati margin keuntungan yang tinggi, ada akumulasi modal cepat. Pada dasar piramida didominasi oleh usaha skala menengah dan kecil yang beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif, hambatan masuk rendah, margin keuntungan rendah, dan tingkat drop out tinggi. Struktur ekonomi bentuk piramida terbukti telah mencuatkan isu konsentrasi dan konglomerasi, serta banyak dituding melestarikan dualisme perekonomian nasional dan neolibarisme dalam perekonomian Indonesia.
Kendati ada beberapa definisi mengenai industri kecil, namun agaknya industri kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehinga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar industri kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada usaha industri makanan, minuman dan tembakau; industri tekstil; dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga.
Walaupun IKM memegang peranan yang sangat penting dalam struktur perekonomian nasional, namun dalam operasionalnya IKM banyak menghadapi permasalahan-permasalahan. Untuk itu perlu dilakukan kajian-kajian yang lebih mendalam untuk melihat permasalahan yang ada secara lebih jernih. Namun perlu diingat bahwa permasalahan-permasalahan itu sifatnya tidaklah umum, tetapi berlaku spesifik untuk IKM-IKM tertentu dan mungkin pada wilayah-wilayah tertentu. Untuk itu, kajian permasalahan IKM yang akan diangkat dalam penelitian ini hanya dilakukan pada IKM Kampoeng Batik Laweyan Surakarta.
Kawasan sentra industri batik Kampoeng Laweyan sudah ada sejak zaman kerajaan Pajang tahun 1546 M. Seni batik tradisional yang dulu banyak didominasi oleh para juragan batik sebagai pemilik usaha batik, sampai sekarang masih terus ditekuni masyarakat Laweyan sampai sekarang. Sebagai langkah strategis untuk melestarikan seni batik, Kampung Laweyan didesain sebagai kampung batik terpadu, memanfaatkan lahan seluas kurang lebih 24 ha yang terdiri dari 3 blok.
Di samping sebagai sentra industri batik, Laweyan juga terkenal dengan bentuk bangunan rumah para juragan batik yang dipengaruhi arsitektur tradisional Jawa, Eropa, Cina, dan Islam. Bangunan-bangunan tersebut dilengkapi dengan pagar tinggi atau "beteng" yang menyebabkan terbentuknya gang-gang sempit spesifik seperti kawasan Town Space. Kelengkapan khasanah seni dan budaya Laweyan tersebut yang dikombinasikan dengan sentra industri batik membuat Laweyan banyak dikunjungi wisatawan baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
Pembahasan
Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process atau AHP). Metode AHP yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty ini ditujukan untuk memodelkan problema-problema tak terstruktur, baik dalam bidang ekonomi, sosial maupun sains manajemen. Di samping itu pula baik digunakan dalam memodelkan problema-problema dan pendapat-pendapat sedemikian rupa, dimana permasalahan yang ada telah benar-benar dinyatakan secara jelas, dievaluasi, diperbincangkan dan diprioritaskan untuk dikaji.
Identifikasi faktor-faktor penentu kinerja IKM dilakukan dengan cara pembobotan dengan menggunakan metode AHP. Secara umum faktor-faktor yang menentukan kinerja IKM adalah sebagai berikut :
(1) Faktor Produksi, yaitu bagaimana perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri kecil untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas industri dengan menerapkan pola produksi dan peralatan/mesin yang mendukung tercapainya efisiensi dan produkti-vitas industri kecil serta mampu memenuhi pesanan yang datang
(2) Faktor Bahan Baku, yaitu bagaimana ketersediaan bahan baku baik dalam jumlah, harga dan kualitas yang dipersyaratkan
(3) Faktor Pemasaran, yaitu bagaimana strategi pemasaran yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan posisi tawar perusahaan terhadap para pembeli
(4) Faktor Desain Produk, yaitu bagaimana perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri kecil dalam mengikuti perkembangan desain yang sesuai dengan selera konsumen melalui pemanfaatan pusat desain yang sudah ada dan membentuk tim kreatif/desainer di tingkat perusahaan
(5) Faktor Keuangan dan Permodalan, yaitu bagaimana perusahaan memenuhi permodalan baik untuk modal kerja maupun untuk pengembangan investasi
(6) Faktor Ketenagakerjaan, yaitu bagaimana perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam industri kecil dalam ketenagakerjaan seperti penerapan pola tenaga kerja tetap dan tenaga kerja outsourcing (subkontrak) dalam berproduksi.
Untuk lebih memudahkan dalam pengolahan data menggunakan metode AHP dilakukan dengan perangkat lunak Expert Choice. Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa faktor-faktor penentu kinerja IKM Kampoeng Batik Laweyan masih didominasi oleh masalah-masalah klasik yang selama ini dihadapi oleh IKM lainnya. Faktor penentu kinerja IKM yang paling dominan adalah faktor keuangan dan permodalan dengan bobot 0,371, disusul dengan faktor pemasaran (bobot 0,286). Kedua faktor ini memegang peranan penting dalam menentukan kinerja IKM di Kampoeng Batik Laweyan. Memang pada kenyataannya, IKM tersebut pada saat ini lebih banyak dihadapkan pada kedua permasalahan ini.
Hasil pembobotan mengenai faktor-faktor yang menentukan kinerja IKM Kampoeng Batik Laweyan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Pembobotan Faktor-Faktor Penentu Kinerja IKM
No. | Uraian | Bobot |
1 | Faktor Keuangan dan Permodalan | 0,371 |
2 | Faktor Pemasaran | 0,286 |
3 | Faktor Desain Produk | 0,149 |
4 | Faktor Bahan Baku | 0,083 |
5 | Faktor Produksi | 0,068 |
6 | Faktor Ketenagakerjaan | 0,043 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Sesuai dengan karakteristiknya, industri kecil di Kampoeng Batik Laweyan lebih banyak dikelola sendiri oleh pemilik usaha yang mempekerjakan orang-orang terdekat seperti keluarga, famili dan tetangga sekitar. Hal ini didukung oleh bobot faktor ketenagakerjaan yang paling kecil yaitu hanya 0,036. Hal ini juga menunjukkan bahwa IKM relatif tidak banyak mengadapi masalah dalam hal ketenagakerjaan ini.
Relatif sederhananya teknologi yang dimiliki oleh IKM menempatkan faktor produksi bukan merupakan faktor dominan dalam menentukan kinerja IKM Kampoeng Batik Laweyan. Umumnya pengrajin batik menggunakan teknologi yang sudah turun temurun dengan peralatan yang relatif mudah diperoleh di wilayah sekitar.
Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjuk-kan bahwa permasalahan bidang keuangan/permodalan yang paling dominan adalah masalah keterbatasan modal baik untuk modal kerja maupun modal investasi dengan bobot 0,386, disusul dengan pembelian bahan baku dan bahan pembantu harus dilakukan secara tunai (bobot 0,237). Kedua masalah ini merupakan masalah yang diprioritaskan untuk dipecahkan agar kinerja IKM Batik di Laweyan dapat ditingkatkan. Karakteristik industri batik yang pada umumnya relatif mudah dimasuki oleh pengusaha-pengusaha baru menyebabkan tingkat persaingan di antara IKM menjadi semakin ketat. Hal ini yang terus menekan margin keuntungan yang diperoleh. Keuntungan yang relatif kecil tidak dapat diandalkan untuk pengembangan usaha yang berasal dari penumpukan laba. Di sisi lain, lembaga-lembaga keuangan formal seperti perbankan selalu mensyaratkan IKM yang ingin mengajukan kredit dengan berbagai ketentuan-ketentuan formal yang memang tidak dimiliki oleh IKM. Hal ini menyebabkan suatu lingkaran setan yang tidak ada ujungnya. Oleh karena itu, peranan pemerintah dalam hal ini harus lebih banyak proaktif membantu IKM dalam menyelesaikan masalah permodalan ini. Hasil pembobotan mengenai permasalahan di bidang keuangan dan permodalan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pembobotan Permasalahan Bidang Keuangan dan Permodalan
No. | Uraian | Bobot |
1 | Keterbatasan Modal | 0,386 |
2 | Pembelian bahan baku harus tunai | 0,237 |
3 | Margin keuntungan semakin rendah | 0,168 |
4 | Lambatnya pembayaran hasil penjualan | 0,100 |
5 | Omzet penjualan yang semakin menurun | 0,073 |
6 | Tingginya suku bunga pinjaman | 0,038 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Pada Tabel 2 di atas, terlihat bahwa IKM umumnya tidak terlalu peduli dengan tingginya tingkat suku bunga pinjaman yang mereka terima seandainya mereka melakukan pinjaman. Tingginya suku bunga pinjaman hanya merupakan prioritas ke-6 dari permasalahan bidang keuangan dan permodalan.
Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa permasalahan bidang pemasaran yang paling dominan adalah masalah terbatasnya pemasaran pada daerah-daerah tertentu dengan bobot 0,279, disusul dengan sulitnya memperoleh pembeli/konsumen baru (bobot 0,255). Kedua masalah ini merupakan masalah pemasaran yang diprioritaskan untuk dipecahkan agar kinerja pengrajin batik di Kampoeng Batik Laweyana dapat ditingkatkan. Hasil pembobotan menge-nai permasalahan di bidang pemasaran selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Pembobotan Permasalahan Bidang Pemasaran
No. | Uraian | Bobot |
1 | Pemasaran terbatas pada daerah-daerah tertentu | 0,279 |
2 | Sulit memperoleh pembeli/konsumen baru | 0,255 |
3 | Pembeli sebagai penentu harga | 0,147 |
4 | Ketergantungan pada pembeli | 0,111 |
5 | Segmen pasar kalangan menengah ke bawah | 0,076 |
6 | Persyaratan yang ketat dari pembeli | 0,049 |
7 | Pemasaran tidak langsung, tetapi melalui agen | 0,038 |
8 | Pameran yang tidak efektif | 0,025 |
9 | Perusahaan sering kena penalti | 0,021 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Pada Tabel 3 di atas, terlihat bahwa karakteristik pengrajin batik di Kampoeng Batik Laweyan yang mempunyai tingkat persaingan sangat tinggi menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi pada pembeli/konsumen. IKM umumnya menghadapi pasar persaingan yang nyaris sempurna sehingga harga lebih banyak ditentukan oleh pasar. Ketatnya persaingan yang dihadapi pengrajin batik di Kampoeng Batik Laweyan karena umumnya mereka bermain pada segmen pasar yang relatif sama yaitu golongan menengah ke bawah sehingga menimbulkan persaingan yang sangat tajam dalam mendapatkan pembeli baru dan menawarkan harga yang bersaing. Kondisi ini umumnya memperkecil margin keuntungan yang akan diperoleh oleh IKM.
IKM Kampoeng Batik Laweyan umumnya tidak terlalu banyak memanfaatkan pameran-pameran yang ada, terlihat dari prioritas masalah bidang pemasaran yang menempatkan masalah pameran yang tidak efektif pada prioritas ke-8. Di samping itu, Kampoeng Batik Laweyan juga tidak banyak menghadapi masalah dengan aturan-aturan kontrak yang ketat dari para pembeli terbukti dari masalah perusahaan kena penalti akibat tidak dapat memenuhi pesanan konsumen pada prioritas yang terakhir.
Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjukkan bahwa permasalahan di bidang produksi yang paling dominan adalah masalah produktivitas peralatan/ mesin yang rendah (bobot 0,407) disusul dengan tata letak pabrik yang kurang efisien dengan bobot 0,246. Kedua masalah ini merupakan masalah produksi yang saling berkaitan sehingga harus diprioritaskan untuk dipecahkan agar kinerja IKM Kampoeng Batik Laweyan dapat ditingkatkan. Mesin/peralatan yang umumnya peninggalan generasi sebelumnya sehingga sudah melewati usia produkifnya dan mengakibatkan turunnya produktivitas mesin/peralatan tersebut. Untuk penggantian mesin/ peralatan lama dengan mesin/peralatan yang baru juga tidak mudah karena umumnya IKM selalu terbentur dengan masalah permodalan. Namun di sisi lain, sikap dari IKM yang cukup puas dengan kondisi saat ini sehingga jarang memikirkan untuk menyisihkan sebagian keuntungannya untuk cadangan pengadaan mesin/ peralatan baru juga menjadi masalah klasik tersendiri yang umumnya dihadapi oleh IKM. Hasil pembobotan mengenai permasalahan di bidang produksi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Pembobotan Permasalahan Bidang Produksi
No. | Uraian | Bobot |
1 | Produktivitas mesin/peralatan rendah | 0,407 |
2 | Tata letak pabrik yang tidak efisien | 0,246 |
3 | Mesin dan pralatan yang sudah ketinggalan zaman | 0,149 |
4 | Metode produksi yang tidak efisien | 0,100 |
5 | Sulitnya pengadaan mesin/peralatan | 0,059 |
6 | Kualitas hasil produksi yang tidak memuaskan | 0,038 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa karakteristik IKM yang mempunyai keterbatasan dalam permodalan menye-babkan IKM mengalami kesulitan dalam pengadaan mesin/peralatan baru sehingga menjadi tidak produktif. Mesin/peralatan yang tidak efisien akhirnya menyebabkan metode produksi yang tidak efisien yang berdampak pada kualitas hasil produksi yang tidak memuaskan. Kondisi ini akan memperparah perusahaan karena hasil produksi tidak bisa bersaing di pasaran yang pada akhirnya mengganggu arus kas perusahaan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka perlahan-lahan IKM menuju jurang kebangkrutan.
IKM Kampoeng Batik Laweyan sudah menyadari bahwa tata letak pabrik yang tidak efisien akan mempengaruhi hasil produksi. Hal ini bisa dilihat dari fakta empiris kondisi produksi IKM di lapangan yang cenderung tidak terlalu banyak memperhatikan aspek tata letak, ruangan berantakan, mengabaikan aspek kebersihan dan kerapihan di ruang produksi. Kondisi ini secara perlahan harus bisa segera diperbaiki karena akan mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjuk-kan bahwa permasalahan di bidang bahan baku yang paling dominan adalah masalah harga bahan baku yang terus meningkat dengan bobot 0,398, disusul dengan sulitnya melakukan diversifikasi bahan baku (bobot 0,244). Kedua masalah ini merupakan masalah produksi yang saling berkaitan sehingga harus diprioritaskan untuk dipecahkan agar kinerja IKM Kampoeng Batik Laweyan dapat ditingkatkan. Harga bahan baku yang terus meningkat menyebabkan biaya produksi juga akan meningkat. Di sisi lain, IKM umumnya menghadapi pasar persaingan yang nyaris sempurna sehingga IKM tidak bisa serta merta menaikkan harga jual produknya. Kondisi ini akan semakin menekan margin keuntungan yang diperoleh. Hasil pembobotan mengenai permasalahan di bidang bahan baku selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Pembobotan Permasalahan Bidang Bahan Baku
No. | Uraian | Bobot |
1 | Harga bahan baku yang terus meningkat | 0,398 |
2 | Sulitnya melakukan diversifikasi bahan baku | 0,244 |
3 | Kualitas bahan baku yang menurun | 0,141 |
4 | Tingginya biaya pengadaan bahan baku | 0,105 |
5 | Kelangkaan bahan baku | 0,056 |
6 | Sulitnya memprediksi fluktuasi harga bahan baku | 0,056 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjuk-kan bahwa permasalahan di bidang desain produk yang paling dominan adalah masalah desain produk yang lebih banyak ditentukan oleh pembeli dengan bobot 0,321, disusul dengan tidak dimilikinya desainer khusus (bobot 0,227). Kedua masalah ini merupakan masalah desain produk yang saling berkaitan sehingga harus diprioritaskan untuk dipecahkan agar kinerja IKM Kampoeng Batik Laweyan dapat ditingkatkan. Karakteristik pengrajin batik yang umumnya saling meniru menyebabkan sulitnya mengembangkan desain-desain batik baru karena ketakutan ditiru oleh perusahaan lain. Di sisi lain, untuk mengamankan desain produk (termasuk merek) secara formal selalu terkendala dengan permodalan dan prosedur yang tidak banyak diketahui oleh IKM. Untuk mengatasi hal ini, maka IKM harus difasilitasi untuk segera mengurus desain batik (termasuk merek) untuk mendapatkan hak atas desain batik/ merek secara formal dan syah. Hasil pembobotan mengenai permasalahan di bidang desain produk selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Pembobotan Permasalahan Bidang Desain Produk
No. | Uraian | Bobot |
1 | Desain produk ditentukan oleh buyer | 0,321 |
2 | Tidak dimilikinya desainer khusus | 0,227 |
3 | Peniruan desain produk/merek oleh perusahaan lain | 0,166 |
4 | Tidak adanya pusat desain di sekitar sentra IKM | 0,106 |
5 | Tidak adanya database desain produk | 0,069 |
6 | Sulitnya mendaftarkan desain produk/merek | 0,044 |
7 | Desain produk tidak mengikuti trend | 0,036 |
8 | Desain produk ketinggalan zaman | 0,031 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Hasil pembobotan dengan menggunakan metode AHP menunjuk-kan bahwa permasalahan di bidang ketenagakerjaan yang paling dominan adalah masalah terbatasnya tenaga kerja terdidik dan terlatih di daerah sentra IKM dengan bobot 0,304, disusul dengan produktivitas tenaga kerja yang rendah (bobot 0,210). Kedua masalah ini merupakan masalah ketenagakerjaan yang saling berkaitan karena terbatasnya tenaga kerja terlatih, maka perusahaan IKM Kampoeng Batik Laweyan akhirnya terpaksa menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih sehingga akibatnya produktivitas tenaga kerja menjadi menurun. Untuk itu, perlu diupayakan untuk dapat menyediakan tenaga kerja terlatih ini di daerah-daerah sentra industri batik dengan mendekatkan balai-balai latihan kerja ke sentra-sentra tersebut. Hasil pembobotan mengenai permasalahan di bidang ketenagakerjaan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari Tabel 7 dapat dilihat, bahwa nampaknya saat ini IKM menanggung biaya tenaga kerja yang cenderung terus meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan masalah biaya tenaga kerja merupakan prioritas ke-4. Namun demikian, untuk mengurangi jumlah tenaga kerja yang umumnya lebih banyak mengandalkan keterampilan ini dengan menggantikan-nya dengan peralatan/ mesin nampaknya sulit untuk dilakukan. Ini terlihat dari masalah penggantian tenaga kerja ini merupakan prioritas yang ke-3.
Tabel 7. Pembobotan Permasalahan Bidang Ketenagakerjaan
No. | Uraian | Bobot |
1 | Terbatasnya tenaga kerja terdidik dan terlatih | 0,304 |
2 | Produktivitas tenaga kerja rendah | 0,210 |
3 | Sulitnya mengganti peran tenaga kerja dengan mesin (mekanisasi). | 0,164 |
4 | Tingginya biaya tenaga kerja | 0,112 |
5 | Sulitnya melakukan pembinaan pada tenaga kerja subkontraktor | 0,065 |
6 | Berpindahnya tenaga kerja berpengalaman pada perusahaan lain | 0,057 |
7 | Tenaga kerja yang berpengalaman keluar dari perusahaan untuk mendirikan perusahaan baru | 0,039 |
8 | Peraturan ketenagakerjaan yang ada merugikan perusahaan | 0,028 |
9 | Tenaga kerja sering melakukan demo sehingga mengganggu proses produksi | 0,019 |
Sumber : Hasil Analisis (2010)
Hal yang memang sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sistem ketenagakerjaan di industri kecil umumnya bersifat kekeluargaan sehingga peraturan-peraturan ketenagakerjaan tidak menyentuh sampai ke industri kecil. Hal ini juga ditandai dengan masalah demo karyawan yang merupakan prioritas yang tidak terlalu penting. Hal yang menarik lainnya, adalah mengenai adanya perpindahan tenaga kerja berpengalaman ke perusahaan lain (dibajak) ataupun untuk mendirikan sendiri perusahaan baru, ternyata bukanlah masalah yang terlalu penting bagi IKM. Kondisi ini justru menguntungkan bagi pengembangan jumlah pengusaha batik selanjutnya, dimana umumnya mereka yang mendirikan perusahaan baru adalah mereka yang pernah mempunyai pengalaman yang sama pada perusahaan yang sejenis.
Dengan menggunakan konsep diagram Pareto dimana akumulasi bobot permasalahan mencapai 80 persen, maka dari 44 permasalahan terpilih 17 permasalahan dengan prioritas tertinggi untuk diselesaikan. Langkah-langkah penyelesaian dapat dilakukan sendiri di tingkat pengrajin batik Kampoeng Batik Laweyan atau difasilitasi oleh pihak-pihak yang berwenang tergantung pada permasalahannya. Permasalahan utama yang dihadapi oleh pengusaha di Kampoeng Batik Laweyan dan langkah-langkah penyelesaiannya dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.
Tabel 8. Permasalahan Utama yang Dihadapi oleh IKM dan Langkah-Langkah Penyelesaiannya
Prioritas | Permasalahan | Langkah Penyelesaian |
1 | Keterbatasan Modal | Memanfaatkan program KUR (Kredit Usaha Rakyat); IKM membentuk Koperasi yang berbadan usaha dan koperasi melakukan kerjasama dengan pihak perbankan untuk pemberikan kredit pada anggota |
2 | Pembelian bahan baku harus secara tunai | Negosiasi dengan supplier dengan membangun kepercayaan yang saling menguntungkan dua belah pihak |
3 | Pemasaran terbatas pada daerah-daerah tertentu | Memperluas wilayah pemasaran dengan bekerja sama dengan agen-agen penjualan di luar daerah. Persyaratan kualitas produk harus dipenuhi dulu. |
4 | Sulit memperoleh pembeli/konsumen baru | Pemerintah memfasilitasi dengan melakukan promosi bersama-sama, mendirikan pusat penjualan IKM, merekomendasikan untuk menggunakan produk-produk IKM |
5 | Margin keuntungan yang semakin rendah | Beralih ke segmen yang lebih atas yang tidak terlalu sensitif dengan harga asal kualitas produk meyakinkan |
7 | Pembeli sebagai penentu harga | Beralih ke segmen pasar yang tidak banyak digarap orang (ceruk pasar) agar dapat menjadi penentu harga |
8 | Lambatnya pembayaran hasil penjualan produk | Strategi penjualan dengan memberikan diskon untuk pembayaran dengan tunai atau pembayaran dalam tempo yang lebih cepat |
9 | Tidak dimilikinya desainer sendiri | Melakukan pelatihan bagi staf perusahaan yang memiliki bakat dan keterampilan khusus |
10 | Harga bahan baku yang terus meningkat | Diversifikasi bahan baku, subsidi harga bahan baku jika produknya digunakan masyarakat banyak |
11 | Ketergantungan pada pembeli | Mencari pembeli-pembeli baru daerah-daerah lain |
12 | Produktivitas mesin/peralatan rendah | Penggantian mesin/peralatan dengan cara bantuan pemerintah/lSM, kredit investasi dengan jaminan mesin |
13 | Menurunnya omzet penjualan | Mencari konsumen baru, memperluas wilayah pemasaran, memperluas segmentasi pasar, memperbaiki kualitas dan desain produk |
14 | Peniruan desain produk/merek oleh perusahaan lain | Pendaftaran merek/desain yang difasilitasi oleh dinas setempat |
15 | Segmen pasar kalangan menengah ke bawah | Perluas segmen ke kalangan menengah atas dengan spesifikasi produk yang memenuhi standar |
16 | Sulitnya melakukan diversifikasi bahan baku | Pengelanan bahan-bahan baru yang telah diujicobakan oleh balai penelitian batik |
17 | Tata letak pabrik yang kurang efisien | Penataan ulang tata letak pabrik dengan memperhatikan faktor-faktor Keamanan Keselamatan Kerja (K3) dan efisiensi |
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Penutup
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa permasalahan-permasalahan yang dihadapi IKM Kampoeng Batik Laweyan tidak banyak mengalami perubahan yang umumnya berkutat dengan aspek keuangan/permodalan dan aspek pemasaran.
Langkah-langkah penyelesaian dapat dilakukan sendiri di tingkat pengusaha batik atau difasilitasi oleh pihak-pihak yang berwenang tergantung pada permasala-hannya. Langkah-langkah penyelesaian tersebut hendaklah dilakukan secara terintegrasi dan tidak parsial (sendiri-sendiri atau terpisah-pisah).
Daftar Pustaka
Kuncoro, M. 1996. Struktur dan Kinerja Ekonomi Indonesia Setelah 50 Tahun Merdeka : Adakah Peluang Usaha Kecil ? Jurnal Ekonomi II(7).
_________. 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
Kuncoro, M dan Anggito Abimanyu. 1995. Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Debirokratisasi. Kelola (Gadjah Mada University Business Review) Nomor 10/IV/1995.
Simatupang, Pantjar, M.H. Togatorop, Rudy P. Sitompul, Tulus Tambunan. 1994. Prosiding Seminar Nasional Peranan Strategis Industri Kecil dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. UKI Press, Jakarta.
terimakasi atas materi yang anda buat saya lebih bersyukur saya bisah membacanya dan lebih-lebih memahami tentang analisis permasalahan ikm.
BalasHapus