INTERRELASI PENGUSAHA BARU BATIK DALAM MENGEMBANGKAN DESAIN, PRODUKSI DAN MUTU BATIK UNTUK MELESTARIKAN KERAJINAN BATIK KAMPOENG LAWEYAN, SOLO
Oleh : Ir. Heru Kustanto, M.Si dan Ir. Novri, MM
Dosen Akademi Pimpinan Perusahaan
Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi kondisi terkini IKM di Kampoeng Batik Laweyan dalam hal teknologi, desain dan mutu; (2) Menganalisis kondisi pengrajin batik Laweyan apakah ada hubungan tingkat keberhasilan antara pengusaha yang telah lama yang mewarisi usaha ini turun temurun dengan pengusaha baru yang pertama merintis uasha kerajinan batik ini; dan (3) Menganalisis perbedaan diantara pengusaha lama dan pengusaha baru dari segi metode berproduksi, desain dan pengembangan mutunya yaitu dalam hal inovasi dan kreativitas dalam melihat dan menata pengembangan usaha batik ini.
Dari hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variabel jenis pengusaha tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan teknologi, dan desain. Tingkat teknologi di antara pengusaha-pengusaha batik yang ada di Laweyan relatif sama, tidak ada perbedaan antara pengusaha generasi penerus dengan pengusaha baru. Teknologi batik yang relatif sederhana mudah diadopsi oleh siapa saja yang ingin masuk ke bisnis batik.
Variabel jenis pengusaha mempunyai korelasi yang signifikan dengan variabel mutu. Pengusaha turunan/penerus dari generasi sebelumnya relatif mempunyai mutu yang mampu memuaskan keinginan konsumen. Hal ini juga didukung oleh korelasi antara jenis pengusaha yang relatif signifikan pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah yaitu 90% dengan indikator desainer. Korelasi antara jenis pengusaha dengan indikator desainer bernilai positif, artinya bahwa pengusaha turunan/penerus dari generasi sebelumnya relatif mempunyai desainer khusus yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu batiknya.
Hasil uji korelasi antara indikator teknologi dengan indikator-indikator lain menunjukkan bahwa indikator teknologi tidak berkorelasi secara signifikan dengan indikator-indikator lainnya. Hal yang sama juga terjadi dengan indikator produksi yang tidak berkorelasi secara signifikan dengan indikator-indikator lainnya. Hal ini berarti bahwa perkembangan produksi batik tidak dipengaruhi oleh variabel-variabel dalam penelitian ini.
Antara indikator trend dan indikator koleksi menunjukkan korelasi yang signifikan. Perusahaan yang mempunyai koleksi desain batik akan dapat membandingkan perkembangan trend batik dari waktu ke waktu sehingga perusahaan yang bersangkutan bahkan dapat menciptakan trend batik tersendiri. Indikator mutu dan indikator desainer menunjukkan korelasi yang signifikan. Korelasinya bernilai positif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi mutu batik yang dihasilkan, semakin banyak desainer yang dimiliki perusahaan tersebut
Pendahuluan
Kampoeng Laweyan dikenal sebagai ikon sentra kerajinan batik di kota Solo sejak dari zaman kerajaan mataram sampai sekarang. Di sini pulalah lahir persatuan pedagang/pengusaha muslim yang dipelopori oleh Haji Samanhudi dengan mendirikan Sarekat Dagang Islam. Namun akhir-akhir ini perkembangannya tidak mengalami loncatan yang berarti, dengan kata lain belum terlihat pengusaha kerajinan batik laweyan yang tumbuh menjadi industri menengah atau besar padahal mereka telah mewarisi cukup lama usaha ini. Industri batik yang tumbuh menjadi besar di kota Solo adalah batik Keris, batik Danarhadi dan batik Semar.
Luasnya wilayah jangkauan pasar produk batik saat ini mendongkrak naiknya permintaan konsumen akan produk batik. Pemerintahpun berusaha meningkatkan permintaan akan batik melalui berbagai kebijakan dan himbauan seperti pakaian seragam tertentu menggunakan batik. Tingginya permintaan batik biasanya bersifat musiman, sama dengan jenis jenis tekstil lainnya hal ini membawa dampak juga bagi pengusaha batiknya.
Meluasnya cakupun wilayah pasar batik dengan sendirinya akan meningkatkan permintaan dan mendorong peningkatan produksi batik baik deri segi jumlah maupun jenis/diversifikasi produknya, namun tidak demikian dengan pengusaha batik. Pertumbuhan pasar maupun fluktuasi permintaan pasar memberikan dampak yang berbeda-beda bagi pengusaha batik, ada yang terus tumbuh menjadi lebih besar, ada yang hanya sekedar tetap bertahan namun ada juga yang terhempas dan tutup. Disisi lain muncul pengusaha baru batik yang mempunyai kiat tersendiri dalam mengembangkan usahanya.
Maju mundurnya usaha ini tentu tidak terlepas dari keuletan dan ketangguhan para pengusaha dalam menghadapi berbagai tantangan yang muncul. Munculnya pengusaha baru batik di tengah tengah pengusaha lama yang yang terus terhempas dan berguguran cukup menarik dan mengherankan, bagaimana kiat-kiat yang ditempuh pengusaha baru ini terutama dalam mengembangkan desain, metode produksi dan mutu sehingga mereka dapat eksis dalam menjalankan usaha batik ini.
Permasalahan
Laweyan merupakan desa tertua yang semua warganya terkenal sebagai pengrajin batik sejak dari zaman mataram sampai sekarang. Keahlian membatik ini sudah menjadi ikon kota Solo kususnya daerah Laweyan secara turun temurun dan mencapai kejayaannya pada awal abad 20 dengan ditemukannya teknik batik cap. Kampoeng Laweyan telah melahirkan entrepreneur pada zaman kejayaan usaha kerajinan batik dan mereka mampu membentuk manajemen usaha keluarga berdasarkan instinktif dan pengalaman sehari-hari dalam mengembangkan usahanya dan menjadikan mereka di kelas elit ekonomi pada waktu itu.
Dalam perjalanannya setelah kemerdekaan usaha kerajinan batik ini mengalami berbagai terpaan silih berganti namun sempat mengalami kejayaan lagi pada tahun enampuluhan, tetapi kemudian redup kembali. Kondisi tersebut semakin mengundang pertanyaan apalagi di Solo dan Yogyakarta yang secara tradisional dikenal sebagai asal produk batik di Indonesia, ternyata tidak mudah bagi orang luar daerah tersebut untuk dapat menemukan perusahaan batik. Perusahaan batik yang pernah ada di masa lalu sebagian telah tidak lagi berproduksi dan perusahaan yang masih berproduksi kondisinya juga tampak kurang berkembang. Selain itu perusahaan batik yang masih beroperasi sekarang juga lebih banyak usaha skala kecil dan rumah tangga yang berada di perkampungan. Pukulan yang paling berat yang dialami para pengrajin batik adalah setelah krisis monoter menerpa Indonesia, banyak pengrajin batik yang tutup usaha dan beralih kepada usaha lain. Namun jika ditelaah lebih jauh, disamping banyaknya pengrajin batik yang tutup banyak juga pengrajin batik yang muncul dan merintis usaha baru batik. Pengusaha baru yang muncul ini mampu mengembangkan usahanya bahkan bisa menandingi pengrajin batik yang telah lama malang melintang dalam usaha ini.
Pembahasan
Hasil survey menunjukkan bahwa jenis batik yang diproduksi di Laweyan adalah batik tulis (40%), batik cap (36,36%) dan batik printing (23,64%). Perkembangan batik di Laweyan Solo sangat menggembirakan, karena berdasarkan hasil survey sebanyak 78,95% pengrajin batik menyatakan bahwa perkembangan produksi empat tahun terakhir ini relatif cenderung naik. Hanya 18,42% pengrajin yang menyatakan produksi dalam empat tahun terakhir ini tetap. Sisanya sebanyak 2,63% pengrajin menyatakan bahwa produksi batik empat tahun terakhir ini relatif cenderung turun. Peningkatan produksi batik dalam empat tahun terakhir juga berimbas pada peningkaan kapasitas produksi yang juga cenderung naik yang dijawab oleh sekitar 68,42% pengrajin. Hanya 26,32% pengrajin yang menyatakan bahwa kapasitas produksi relatif tetap dan sebanyak 5,26% pengrajin menyatakan bahwa kapasitas produksi cenderung turun dalam 3 tahun terakhir ini.
Dalam proses produksi batik, para pengrajin menggunakan berbagai zat warna. Berdasarkan hasil survey, banyaknya pengrajin yang menggunakan zat warna Naftol adalah sebanyak 22,92%. Sementara itu zat warna Indigosol digunakan oleh sebanyak 12,50% pengrajin, Reaktif (20,83%), Soda (22,92%) da zat warna alami (20,83%). Meningkatnya jumlah pengrajin batik yang menggunakan zat warna alami merupakan hal yang menggembirakan. Penggunaan zat warna alami dalam membatik dapat menjawab berbagai kekhawatiran selama ini bahwa produksi batik banyak menyebabkan pencemaran lingkungan akibat berlebihannya penggunaan zat warna kimia.
Pertimbangan yang digunakan dalam memilih zat warna untuk membatik lebih banyak didorong oleh alasan bagusnya kualitas zat warna yang bersangkutan (48,57%), kebiasaan yang sudah dilakukan secara turun temurun (28,57%) dan penggunaan zat warna yang relatif mudah (22,86%). Semakin meningkatnya penggunaan zat warna terlihat dalam satu motif batik dimana warna yang paling banyak digunakan adalah lebih dari 4 warna (37,39%), 4 warna (34,48%), 3 warna (20,69%) dan 2 warna (6,90%). Peningkatan jumlah warna yang digunakan dalam satu motif batik di sisi lain akan semakin meningkatkan tampilan dan mutu batik yang dihasilkan, tetapi di sisi lain jika tidak digunakan secara tepat justru akan merugikan para pengrajin karena munculnya isu pencemaran lingkungan yang dikaitkan dengan produksi batik.
Peningkatan produksi batik terancam dengan perkembangan harga bahan baku utama dalam empat tahun terakhir yang relatif cenderung naik. Sebanyak 76,92% para pengrajin batik merasakan peningkatan harga bahan baku utama dalam empat tahun terakhir. Hanya sebanyak 17,95% pengrajin batik yang menyatakan bahwa harga bahan baku relatif tetap dan sebanyak 5,13% pengrajin batik justru menyatakan bahwa harga bahan utama dalam empat tahun terakhir ini relatif cenderung turun.
Walaupun harga bahan baku utama mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir ini, para pengrajin batik di Laweyan relatif tidak pernah mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan konsumen akibat sulitnya memperoleh bahan baku. Hal ini dialami oleh sebagian besar (71,79%) pengrajin batik di Laweyan. Sementara itu, sebanyak 25,64% pengrajin batik pernah mengalami kesulitan memenuhi permintaan konsumen akibat sulitnya memperoleh bahan baku. Sementara itu, sebanyak 2,56% pengrajin batik justru seringkali kesulitan memenuhi permintaan konsumen.
Kondisi yang relatif sama juga terjadi pada saat tingginya harga bahan baku. Para pengrajin batik di Laweyan relatif tidak pernah mengalami kesulitan untuk memenuhi permintaan konsumen akibat tinginya harga bahan baku. Hal ini dialami oleh sebagian besar (76,92%) pengrajin batik di Laweyan. Sementara itu, sebanyak 20,51% pengrajin batik pernah mengalami kesulitan memenuhi permintaan konsumen akibat tingginya harga bahan baku. Sementara itu, sebanyak 2,56% pengrajin batik justru seringkali kesulitan memenuhi permintaan konsumen.
Dalam memenuhi kebutuhan bahan baku, hampir sebagian besar (79,55%) para pengrajin batik membeli dari pedagang bahan baku di Solo. Sisanya sebanyak 20,45% membeli dari pedagang di kota lain. Para pengrajin batik di Laweyan merupakan pengusaha-pengusaha yang ulet, terutama pada saat mengatasi sulitnya memperoleh bahan baku. Hanya sebagian kecil dari pengrajian (16%) yang memilih berhenti berproduksi, sisanya sebesar 84% melakukan berbagai upaya dengan mengganti dengan bahan baku lain.
Dalam melakukan proses produksi, hampir sebagian besar pengrajin batik di Laweyan (84,21%) mengerjakan seluruh proses produksi sendiri tanpa mensubkon-trakkan ke tempat lain. Sisanya sebanyak 15,79% mensubkontrakkan ke tempat lain di luar tempat usahanya.
Teknologi, metoda dan peralatan membatik yang digunakan di Laweyan Solo relatif hampir sama. Hal ini terlihat dari hasil survey dimana 64,86% pengrajin batik menyatakan bahwa teknologi, metoda dan peralatan membatik mereka relatif sama dengan perusahaan-perusahaan yang ada di Laweyan. Hanya sebanyak 32,43% dari pengrajin batik yang menyatakan bahwa teknologi, metoa dan peralatan membatik mereka lebih baik dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan sejenis di Laweyan. Sebaliknya, hanya terdapat sekitar 2,70% pengrajin batik yang menyatakan bahwa teknologi, metoda dan peralatan membatik mereka lebih jelek dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan sejenis.
Hasil survey di atas sejalan dengan tingkat teknologi, metoda dan peralatan membatik yang digunakan perusahaan selama empat tahun terakhir dimana sebagian besar para pengrajin (61,76%) menyatakan bahwa tidak ada perubahan. Namun demikian, terdapat sekitar 38,24% pengrajin batik di Laweyan menyatakan bahwa tingkat teknologi, metoda dan peralatan membatik yang mereka gunakan lebih baik karena adanya penambahan peralatan baru. Adanya penambahan peralatan baru dalam proses membatik ini sangat menggembirakan karena akan meningkatkan produktivitas peralatan/mesin yang mereka miliki saat ini. Sebanyak 64,52% pengrajin batik juga menyatakan bahwa teknologi, metoda dan peralatan membatik yang mereka gunakan dapat mendukung tercapainya efisiensi dan produktivitas sehingga mampu menurunkan biaya produksi. Hanya 16,13% saaja yang menyatakan kadang-kadang dan 19,35% yang menyatakan bahwa teknologi, metoda dan peralatan membatik tidak dapat mendukung tercapainya efisiensi dan produktivitas.
Peralatan membatik relatif tidak menjadi masalah pada IKM Kampoeng Batik Laweyan. Survey menunjukkan bahwa sebagian besar 68,75% pengrajin batik menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kesulitan untuk membeli peralatan membatik. Hanya sekitar 15,63% para pengrajin batik kadang-kadang mengalami kesulitan dalam membeli peralatan membatik. Sisanya sebesar 15,63% menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan membeli peralatan membatik.
Peralatan membatik yang digunakan relatif mudah diperoleh di daerah setempat. Hal ini terlihat dari hasil survey yang menunjukkan bahwa 77,14% pengrajin batik di Laweyan Solo memperoleh peralatan membatiknya di daerah setempat. Terdapat sekitar 14,29% pengrajin batuk memperoleh peralatan membatik dari daerah lain. Ada juga yang menyatakan bahwa peralatan membatik mereka diimpor dari luar negeri (8,57%).
Dalam hal kepemilikan, semua pengrajin batik di Laweyan memiliki sendiri tempat dan peralatan produksi. Tempat dan peralatan produksi tersebut sudah dimanfaatkan secara optimal oleh sebagian besar (91,89%) pengrajin batik, sementara itu hanya 8,11% yang belum memanfaatkannya secara maksimal. Sementara itu, untuk barang-barang sisa hasil produksi, ternyata masih mempunyai nilai jual sehingga dapat menambahkan pendapatan para pengrajin. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey para pengrajin batik sebanyak 88,75% menyatakan bahwa barang sisa produksi masih mempunyai nilai jual. Sementara itu, hanya 11,43% yang mengatakan sebaliknya.
Dalam upaya meningkatkan produksi akibat meningkatnya permintaan, hampir sebagian besar (42,86%) para pengrajin batik memilih untuk melemburkan karyawannya, disusul dengan menambah jumlah karyawan 26,19%. Ada juga pengrajin yang memilih untuk menambah peralatan 14,29%, disubkontrakkan pada kenalan 11,90% dan menambah jumlah sub-kontrak 4,76%. Namun sebaliknya, jika pesanan menurun atau order sedang sepi, hanya 20% pengrajin batik di Laweyan yang memilih mengurangi jumlah pekerja. Sisanya 80% memilih tetap berproduksi seperti biasa.
Dalam kasus perusahaan tidak dapat memenuhi seluruh permintaan pelanggan, faktor-faktor penyebabnya adalah :
1. Harga yang ditawarkan pembeli tidak sesuai dengan besarnya biaya yang dikeluarkan perusahaan (31,58%).
2. Kesulitan memenuhi target waktu pengiriman yang ditetapkan oleh pembeli (28,95%).
3. Harga bahan baku yang tinggi dan berfluktuasi sehingga sulit menentukan perkiraan harga yang akan diajukan pada pembeli (23,69%).
4. Ketidakpastian ketersediaan bahan baku (15,79%).
Sementara itu dalam kasus pesanan dari pembeli tidak dapat dipenuhi baik dari sisi waktu, jumlah dan kualitas yang telah ditentukan pembeli, risiko yang akan diterima perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Tergantung negosiasi sebelumnya dengan pembeli (54,76%).
2. Tidak terjadi apa-apa (21,43%)
3. Pembeli akan mengalihkan pada perusahaan lain (19,05%).
4. Kena denda/penalti (4,76%).
Dalam proses produksi batik, dihasilkan limbah terutama dalam proses pembuangan berbagai zat kimia seperti zat warna dan malam. Sebagian besar dari pengrajin batik di Laweyan (31,03%) langsung membuang limbah tersebut ke saluran pembuangan (got, kali atau sungai). Namun cukup banyak juga pengrajin batik (27,59%) yang menampungnya dulu pada kolam penampung milik sendiri dan mengolahnya sebelum dibuang dan banyak juga (27,59%) yang menampungnya dulu pada kolam penampung milik bersama dan mengolahnya sebelum dibuang. Sekitar 13,79% pengrajin batik membuangnya ke lubang yang telah disediakan dan membiarkan limbah tersebut menguap dan meresap ke dalam tanah.
Produk batik merupakan produk yang perubahan desainnya relatif cepat. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey dimana hampir sebagian besar (56,25%) pengrajin batik di Laweyan melakukan perubahan desain batik dalam waktu kurang dari 3 bulan. Sebanyak 18,75% pengrajin batik melakukan perubahan desain batik dalam waktu 6 bulan. Sementara itu masing-masing hanya 12,5% yang melakukan perubahan desain dalam waktu 1 tahun dan 3 tahun.
Dalam hal desain batik, sebagian besar (61,54%) pengrajin batik mengata-kan bahwa desain batik merupakan hasil kreasi mereka sendiri. Desain batik juga diperoleh dari buyer (13,46%) dan diperoleh dengan mencontoh dari perusahaan lain (11,54%). Para pengrajin batik di Laweyan sebanyak 3,85% juga sudah memanfaatkan media elektronik (internet) untuk memperoleh desain-desain batik kontemporer. Kurang berperannya pusat desain batik terlihat dari respon pengrajin batik hanya 3,85% yang memanfaatkannya untuk desain batik-batik mereka.
Perusahaan batik di Laweyan sebanyak 50% sudah mempunyai personal atau tim kreatif yang diberi tugas membuat desain produk. Namun demikian, mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di bidang desain, tetapi sebagian besar (64,52%) hanya berdasarkan pengalaman dan otodidak.
Dalam membuat desain produk yang baru, sebanyak 66,67% perusahaan melakukan pengkajian/penelitian terhadap trend dan selera konsumen yang menjadi pasar perusahaan. Sementara sisanya 33,33% tidak melakukan penelitian trend dan selera konsumen dalam membuat desain batik yang baru.
Para pengrajin batik di Laweyan relatif percaya diri dalam hal desain batik ini. Hal ini dibuktikan dari perbandingan desain batik sendiri terhadap desain dari perusahaan sejenis. Sebanyak 48,72% pengrajin batik merasa bahwa desain batik mereka cukup dapat bersaing dengan desain batik perusahaan lain. Bahkan 43,59% pengrajin batik Laweyan menyatakan bahwa desain batik mereka lebih baik dibandingkan dengan desain perusahaan lain. Para pengrajin batik Laweyan juga menyadari bahwa telah terjadi peningkatan dalam volume produksi jika dilakukan perubahan atas desain produk. Hal ini dinyatakan oleh 65,71% pengrajin batik Laweyan. Sementara itu, sisanya sebanyak 34,29% menyatakan bahwa perubahan atas desain batik mereka belum mempengaruhi peningkatan volume produksinya.
Para pengrajin batik Laweyan sebanyak 56,76% sudah mempunyai data mengenai koleksi desain produk yang sudah pernah diproduksi yang menyangkut gambar, komposisi bahan baku, berat, dan harga. Namun demikian, masih relatif cukup banyak (43,24%) yang belum mempunyai data mengenai desain batik yang mereka produksi.
Persaingan produk batik dengan daerah-daerah penghasil batik lainnya relatif ketat, khususnya dalam hal mutu dan harga. Sebagian besar pengrajin batik Laweyan (54,05%) menyatakan bahwa harga produk batik mereka relatif sama dengan produk sejenis di daerah lain. Sebanyak 29,73% menyatakan lebih murah dan 16,22% justru mengatakan lebih mahal. Hal yang menarik untuk dikaji dari hasil survey ini adalah apakah perusahaan yang menawarkan harga lebih tinggi juga menawarkan kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan batik dari daerah lain atau apakah perusahaan yang menawarkan harga lebih rendah juga menawarkan kualitas yang lebih rendah pula dibandingkan dengan batik dari daerah lain.
Para pengrajin batik Laweyan relatif dapat memenuhi permintaan konsumen berdasarkan waktu dan mutu yang telah ditetapkan. Hal ini terlihat dari pernyataan hampir sebagian besar (84,62%) pengrajin batik menyatakan hal tersebut. Di samping itu, produk batik Laweyan relatif mampu memuaskan selera konsumennya. Para pengrajin batik Laweyan sebanyak 54,96% merasa bahwa produk batik mereka mampu memuaskan konsumen. Pengrajin batik Laweyan sebanyak 37,84% bahkan merasa sangat memuaskan konsumen. Hanya sekitar 2,70% saja yang merasa kurang memuaskan konsumennya.
Kepuasan konsumen sangat ditentukan oleh mutu batik yang dihasilkan pengrajin batik Laweyan. Di sisi lain, mutu batik sangat dipengaruhi oleh mutu bahan baku utamanya. Para pengrajin batik Laweyan meraskan bahwa kualitas bahan baku utama saat ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dalam kondisi relatif sama bahkan lebih baik. Sebagian besar pengrajin batik Laweyan (57,89%) menyatakan bahwa mutu bahan baku utama batik relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, 31,58% menyatakan bahwa bahan baku utama batik justru lebih baik. Hanya 10,53% yang menyatakan bahwa mutu bahan baku utama batik lebih jelek dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Untuk menghasilkan batik, sebagian besar pengrajin batik (94,87%) menyatakan bahwa mereka selalu menggunakan bahan baku utama yang sama mutunya. Hanya 21,62% yang menggunakan bahan baku utama yang mutunya berbeda-beda. Sementara itu, untuk proses pengawasan mutu sebagian besar (94,29%) pengrajin batik Laweyan melakukannya sendiri dengan menunjuk petugas untuk itu. Sebagian pengrajin batik (2,86%) menyetujui pengawasan mutu dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh calon pembeli. Ada juga sebanyak 2,86% pengrajin batik melakukan pengawasan mutu oleh petugas dari lembagai lain.
Hampir sebagian besar yaitu 94,78% pengrajin batik Laweyan mengetahui karakteristik mutu bahan baku yang digunakan. Hanya 5,13% saja yang tidak mengetahuinya. Umumnya mereka mengetahui karakteristik mutu bahan baku yang digunakan berdasarkan pengalaman mereka (82,05%), sisanya dari hasil pengujian (10,26%) dan dari label bahan baku tersebut (7,69%).
Dari beberapa bahan baku utama pembuatan batik, bahan pewarna adalah yang paling sulit untuk diketahui mutunya (43,33%), yang lainnya adalah kain mori (33,33%) dan malam (33,33%). Jika perusahaan merasa bahan yang digunakan kurang baik sebagian besar pengrajin batik yaitu 45,45% menukarkannya kepada pemasoknya, sebanyak 42,42% tidak akan memakainya dan hanya 12,12% pengrajin batik yang akan tetap memakai bahan baku tersebut.
Para pengusaha batik Laweyan selalu melakukan perbaikan-perbaikan dalam proses produksi batik agar lebih efisien. Sebanyak 94,44% pengrajin batik menyatakan bahwa mereka selalu mengembangkan cara berproduksi yang lebih efisien. Sementara itu sebanyak 5,56% tidak pernah melakukannya. Kondisi ini membuat proses produksi batik di Laweyan sangat dinamis karena para pengrajin selalu membuat terobosan-terobosan dalam teknik berproduksi.
Untuk mempertahankan mutu batik yang telah dihasilkan, sebanyak 61,11% pengrajin batik Laweyan telah mempunyai cara untuk menguji mutu hasil produksi mereka. Sementara itu hanya 38,89% saja yang menyatakan tidak. Hanya sekitar 11,43% saja pengrajin batik yang pernah meminta uji mutu ke lembaga pengujian mutu. Sementara 88,57% tidak pernah melakukan uji mutu ke lembaga pengujian. Hampir sebagian besar yaitu sebanyak 71,88% pengrajin batik di Laweyan memahami uji apa saja yang diperlukan untuk mengetahui mutu yang baik. Hanya 28,13% saja yang tidak memahami uji apa saja yang diperlukan untuk mengetahui mutu yang baik.
Sebagian besar pengrajin batik yaitu sebanyak 75% membuat pakaian dari batik. Dalam menentukan ukuran pakaian umummnya mereka menggunakan standar yang harus diikuti (40%), merancang sendiri (40%) atau meniru ukuran yang sudah ada di pasar (20%). Adanya perbedaan-perbedaan dalam hal mutu batik yang dihasilkan di Laweyan (termasuk masalah ukuran pakaian), sebanyak 88,57% pengrajin batik merasa perlu diadakan standarisasi material, proses dan produk agar mutu batik Laweyan bisa diandalkan. Hanya 11,43% saja yang menyatakan tidak perlu adanya standarisasi.
Untuk melihat interrelasi antara pengusaha baru, teknologi, desain dan mutu batik dilakukan analisis dan uji korelasi yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Variabel jenis pengusaha direpresentasikan dengan indikator turunan yaitu apakah perusahaan yang dimaksud merupakan perusahaan baru atau warisan/turunan dari generasi sebelumnya. Untuk variabel teknologi direpresentasikan dengan indikator teknologi dan produksi. Indikator teknologi melihat apakah teknologi yang dimiliki perusahaan tersebut relatif lebih baik atau sama atau lebih ketinggalan dibandingkan dengan perusahaan batik sejenis. Sementara itu indikator produksi untuk melihat bagaimana jumlah produksi dalam empat tahun terakhir ini, cenderung naik, tetap atau cenderung turun.
Tabel 1. Hasil Uji Korelasi dengan Beberapa Variael dalam Bidang Produksi
Turunan | Teknologi | Produksi | Trend | Desainer | Koleksi | Mutu | ||
Turunan | Correlation Coefficient | 1.000 | .123 | .249 | .191 | .318 | -.083 | .373* |
Sig. (2-tailed) | . | .488 | .138 | .251 | .063 | .637 | .027 | |
N | 39 | 34 | 37 | 38 | 35 | 35 | 35 | |
Teknologi | Correlation Coefficient | .123 | 1.000 | .072 | .072 | -.086 | .017 | .339 |
Sig. (2-tailed) | .488 | . | .687 | .688 | .635 | .926 | .058 | |
N | 34 | 35 | 34 | 34 | 33 | 32 | 32 | |
Produksi | Correlation Coefficient | .249 | .072 | 1.000 | .223 | .182 | .029 | .217 |
Sig. (2-tailed) | .138 | .687 | . | .185 | .303 | .868 | .211 | |
N | 37 | 34 | 38 | 37 | 34 | 35 | 35 | |
Trend | Correlation Coefficient | .191 | .072 | .223 | 1.000 | .283 | .478** | .302 |
Sig. (2-tailed) | .251 | .688 | .185 | . | .094 | .003 | .078 | |
N | 38 | 34 | 37 | 39 | 36 | 36 | 35 | |
Desainer | Correlation Coefficient | .318 | -.086 | .182 | .283 | 1.000 | .103 | .445* |
Sig. (2-tailed) | .063 | .635 | .303 | .094 | . | .568 | .011 | |
N | 35 | 33 | 34 | 36 | 36 | 33 | 32 | |
Koleksi | Correlation Coefficient | -.083 | .017 | .029 | .478** | .103 | 1.000 | .241 |
Sig. (2-tailed) | .637 | .926 | .868 | .003 | .568 | . | .177 | |
N | 35 | 32 | 35 | 36 | 33 | 36 | 33 | |
Mutu | Correlation Coefficient | .373* | .339 | .217 | .302 | .445* | .241 | 1.000 |
Sig. (2-tailed) | .027 | .058 | .211 | .078 | .011 | .177 | . | |
N | 35 | 32 | 35 | 35 | 32 | 33 | 36 |
Sementara itu untuk variabel desain direpresentasikan oleh indikator trend, desainer dan koleksi. Indikator trend menunjukkan apakah dalam menentukan desain batik perusahaan yang bersangkutan memperhatikan trend desain batik yang ada. Indikator desainer menunjukkan apakah perusahaan yang bersangkutan memiliki desainer khusus yang ditugaskan untuk membuat desain-desain batik. Indikator koleksi untuk melihat apakah perusahaan yang bersangkutan melakukan pengoleksian desain-desain batik yang pernah diproduksinya.
Dari hasil uji korelasi menunjukkan bahwa variabel jenis pengusaha tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan teknologi, dan desain pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini menunjukkan bahwa baik pengusaha baru maupun pengusaha lama yang merupakan pengusaha generasi penerus sebelumnya relatif tidak berkorelasi dengan tingkat teknologi yang dimiliki. Hal ini sejalan dengan hasil survey sebelumnya yang menyatakan bahwa tingkat teknologi di antara pengusaha-pengusaha batik yang ada di Laweyan relatif sama, tidak ada perbedaan antara pengusaha generasi penerus dengan pengusaha baru. Teknologi batik yang relatif sederhana mudah diadopsi oleh siapa saja yang ingin masuk ke bisnis batik.
Sementara itu dari uji korelasi menunjukkan bahwa variabel jenis pengusaha mempunyai korelasi yang signifikan dengan variabel mutu pada tingkat kepercayaan 95%. Korelasi bernilai positif, artinya bahwa pengusaha turunan/penerus dari generasi sebelumnya relatif mempunyai mutu yang mampu memuaskan keinginan konsumen. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengalaman yang telah dimiliki pengusaha ini secara turun-temurun yang biasanya didukung oleh konsumen-konsumen yang loyal. Hal ini juga didukung oleh korelasi antara jenis pengusaha yang relatif signifikan pada tingkat kepercayaan yang lebih rendah yaitu 90% dengan indikator desainer. Korelasi antara jenis pengusaha dengan indikator desainer bernilai positif, artinya bahwa pengusaha turunan/penerus dari generasi sebelumnya relatif mempunyai desainer khusus yang pada akhirnya mampu meningkatkan mutu batiknya.
Hasil uji korelasi antara indikator teknologi dengan indikator-indikator lain menunjukkan bahwa indikator teknologi tidak berkorelasi secara signifikan dengan indikator-indikator lainnya. Hal ini berarti bahwa tingkat teknologi yang dimiliki oleh perusahaan batik Laweyan tidak dipengaruhi oleh variabel-variabel dalam penelitian ini. Hal ini terjadi karena tingkat teknologi antara pengusaha-pengusaha batik di Laweyan relatif sama. Hal yang sama juga terjadi dengan indikator produksi yang tidak berkorelasi secara signifikan dengan indikator-indikator lainnya. Hal ini berarti bahwa perkembangan produksi batik tidak dipengaruhi oleh variabel-variabel dalam penelitian ini.
Sementara itu antara indikator trend dan indikator koleksi menunjukkan korelasi yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%. Korelasinya bernilai positif yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang selalu memperhatikan trend dalam mendesain batik, umumnya memiliki koleksi desain batik yang pernah diproduksinya. Hal yang sebaliknya juga terjadi. Perusahaan yang mempunyai koleksi desain batik akan dapat membandingkan perkembangan trend batik dari waktu ke waktu sehingga perusahaan yang bersangkutan bahkan dapat menciptakan trend batik tersendiri.
Sementara itu antara indikator mutu dan indikator desainer menunjukkan korelasi yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%. Korelasinya bernilai positif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi mutu batik yang dihasilkan, semakin banyak desainer yang dimiliki perusahaan tersebut. Hal ini sejalan dengan bukti empiris bahwa batik adalah produk budaya dan produk seni yang tentunya membutuhkan keahlian-keahlian dari para desainer batik.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar pemerintah perlu lebih mendorong terciptanya wirausaha-wirausaha baru dalam bisnis batik di samping dapat meningkatkan perekonomian daerah juga dapat melestarikan nilai-nilai budaya warisan leluhur. Di samping itu, perlunya inovasi proses produksi batik yang ramah lingkungan dengan memperbaiki proses pengolahan limbah yang dihasilkan dari produksi batik untuk menangkal isu lingkungan yang ditujukan pada produk batik. Pemerintah perlu memfasilitasi pendirian pusat-pusat desain batik yang mudah diakses oleh para pengusaha batik terutama pengusaha kecil yang tidak memiliki kemampuan untuk memiliki desainer sendiri. Akhirnya, pemerintah harus mendorong para pengusaha batik untuk mendaftarkan koleksi desain batik yang dimilikinya agar memiliki kekuatan hukum sehingga dapat menghindarkan diri dari pencurian atau klaim desain batik oleh pengusaha lain.
Daftar Pustaka
Bank Indonesia. 2008. Pola Pembiayaan Usaha Kecil Industri Kerajinan Batik.
Dajan, A. 1993. Pengantar Metode Statistik, Jilid-II. LP3ES, Jakarta.
Djaimi. 2006. Analisis Peranan, Perilaku, dan Kinerja Industri Kecil Menengah dalam Perekonomian Indonesia. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Indriantoro, N. Dan B. Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan Manajemen. BPFE, Jogjakarta.
Kuncoro, M. 1996. Struktur dan Kinerja Ekonomi Indonesia Setelah 50 Tahun Merdeka : Adakah Peluang Usaha Kecil ? Jurnal Ekonomi II(7).
_________. 1997. Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
Kuncoro, M dan Anggito Abimanyu. 1995. Struktur dan Kinerja Industri Indonesia dalam Era Deregulasi dan Debirokratisasi. Kelola (Gadjah Mada University Business Review) Nomor 10/IV/1995.
Simatupang, Pantjar, M.H. Togatorop, Rudy P. Sitompul, Tulus Tambunan. 1994. Prosiding Seminar Nasional Peranan Strategis Industri Kecil dalam Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. UKI Press, Jakarta.
Siswanti. 2007. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Industri Batik di Kawasan Sentra Batik Laweyan Solo. Skripsi. Fakultas Teknik Universitas Semarang.
Supranto, J. 1990. Statistik, Jilid II. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Walpole, R. E. 1995. Pengantar Statistika. Terjemahan. PT Grademia Pustaka Utama, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar